Membongkar Isi UU 21 Otonomi Khusus Papua (Affirmative Action 14 Kursi Orang Asli Papua di Parlemen)

Otonomi Khusus Hadir Karena Gejolak Papua
Perlakuan negara dengan mengekspolitasi sumber daya alam Papua, menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) membuat banyak luka mendalam hingga hari ini. Pembunuhan dan penindasan di Papua tidak pernah diselesaikan dengan baik oleh negara. Seakan membunuh adalah hal yang wajar terhadap orang asli Papua. Rakyat Papua yang terus mempersoalkan integrasi Papua ke dalam NKRI yang mana disebut Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Tahun 1969 sebagai penipuan dan kemunafikan negara.

Melihat gejolak yang panjang di Papua maka negara mulai memandang serius aspirasi dari masyarakat Papua dengan membuat satu produk hukum yang dikenal dengan UU 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus Otonomi Khusus sebagai jawaban penyelesaian persoalan Papua. Kala itu dilakukan pertemuan intens antara negara dan pihak-pihak yang mewakili Papua baik pejabat daerah, akademisi hingga tokoh-tokoh berpengaruh di Papua. Melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, yaki: “Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus bagi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi rakyat”. 

Pasal 1 huruf b berbunyi, “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”

Ada beberapa poin dalam undang-undang otsus adalah tentang keberpihakan terhadap orang asli papua untuk mendirikan partai lokal, alokasi khusus kepada orang asli Papua seperti pembagian kouta khusus orang asli Papua terkait dengan sekolah/beasiswa, penerimaan pegawai, hingga pada bidang militer. Sejauh ini representasi kultural MRP dan peran pemerintah dalam membentuk peraturan daerah khusus sebagai bentuk implemnetasi dari Otonomi Khusus agar adanya proteksi, pemberdayaan dan keberpihakan sangat minim. Tidak tampak bahkan beberapa hal menjadi masalah seperti Perda Minuman Keras yang dibuat oleh pemda tetapi sayang sekali menjadi catat dimeja hukum.

Salah satu yang terdengar hari-hari ini dan menimbulkan polemik adalah 14 kursi DPR khsus orang asli Papua menduduki kursi di DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan sebagaimana bunyi pasal 6 ayat 2 dan 4, “DPRP terpilih atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan” (4) Jumlah anggota DPRP adalah 1 ¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Menindaklanjuti hal tesebut Pemerintah Provinsi Papua membuat Peraturan Daerah Khusus No 6 Tahun 2014 tentang Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2014-2019. Pasal 27 tentang Alokasi Kursi ayat 1-3 berbunyi:

(1) Jumlah kursi anggota DPRP yang diangkat sebanyak 1 ¼ (satu perempat) dari jumlah kursi anggota DPRP yang ditetapkan secara nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jumlah kursi anggota DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebanyak 14 (empat belas) kursi.
(3) Alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi kepada setiap DAPENG sebagai berikut :
a. La Pago sebanyak 4 (empat) kursi;
b. Mee Pago sebanyak 3 (tiga) kursi;
c. Saireri sebanyak 3 (tiga) kursi;
d. Tabi sebanyak 2 (dua) kursi; dan
e. Ha Anim sebanyak 2 (dua) kursi.

Suatu Keanehan (Hukum) 14 Kursi DPR Papua

Sejak 2001-2016 (15 tahun) lamanya sejak diberlakukannya Otonomi Khusus Papua, tidak terlihat peran pemerintah terkait apa yang diamanatkan dalam Pasal 1 huruf b berbunyi, “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. Salah satunya tentang pengangkatan 14 kursi sebagai bentuk keberpihakan terhadap orang Papua.

Pada tahun 2017 kemudian diusulkan 14 perwakilan memenuhi jalur pengangkatan DPR Papua. Sementara pada tahun 2019 dilakukan pelatikan baru terhadap anggota legislatif terpilih, berarti hanya 2 tahun menjabat kemudian dilakukan pergantian. Seharusnya mereka juga menjabat selama 5 tahun seperti anggota DPR jalur pemilihan. Terlihat dipaksakan sehinga proses yang dilakukan oleh pemerintah daerah menimbulkan tanda tanya publik. Tahun 2019 ini melalui Kesbangpol Provinsi Papua dilakukan seleksi jalur pengangkatan 14 kursi dibawah Panitia Seleksi. 

14 Kursi jalur pengangkatan periode sebelumnya dilantikan oleh Yunus Wonda Ketua DPRP Periode 2014-2019 pada Rapat Istimewa Dewan. Ada pun mereka yang dilantik, dari wilayah adat Mamta yakni Ramses Ohee dan Piter Kwano. Wilayah adat Saireri adalah Yohanes Luis Ronsumbre, Yonas Nusi dan Yotam Bilasi. Dari wilayah adat Lapago, yaitu Arnold Wenekolik Walilo (petahana jalur partai), Jhon W Wilil, Kope Wonda dan Timotius Wakur. Sedangkan, dari wilayah adat Meepago yakni Ferry Omaleng, Jhon Nasion Robby Gobay dan Julianus Miagoni (petahana jalur partai) dan wilayah Anim Ha, yaitu Frits Tabo Wakyasu dan Maria Elizabeth Kaize.  Namun, saat pelantikan berlangsung, seluruh Fraksi PDI Perjuangan keluar dari ruangan sidang, sedangkan sebagian anggota fraksi lainnya tetap berada di ruangan.

Pelatikan ini dikuatkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 161.91-2387 tahun 2017 tertanggal 10 Maret 2017 tentang Peresmian Pengangkatan Anggota DPR Papua melalui Mekanisme Pengangkatan masa Jabatan 2014-2019. Tetapi yang menjadi aneh dan penulis merasa aneh karena sangat dipaksakan sebab untuk apa dilantik apabila tidak sesuai dengan masa jabatan yang seharusnya mereka emban yaitu 5 tahun juga seperti anggota DPRP lainnya. Kemudian ketika dilakukan pembacaan nama-nama yang diberhentikan 55 anggota DPRP tidak dibacakan nama-nama mereka sebagai anggota DPRP jalur pengangkatan dengan demikian mereka merasa masih tetap aktif sementara menurut Sekwan DPR Provinsi Papua hak-hak mereka harusnya juga diberhentikan timbul lah dilema dibagian ini.

Peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dan 14 Kursi Orang Asli Papua (OAP) Jalur Pengangkatan Terkait Kesejaterahan OAP

Bentuk dari keberpihakan negara (affirmative action) ini harus benar-benar dimanfaatkan demi kesejaterahan rakyat Papua bukan semata-mata demi kepentingan pribadi dan kepentingan politik. Memahami keberpihakan berarti memahami kondisi Papua hari ini yang membutuhkan perwakilan demi menyuarakan apa yang terjadi. Bukan hanya menduduki kursi tetapi bagaimana keterwakilan pada posisi-posisi strategis demi memperjuangan rakyat dan tanah Papua dengan berani menghadirkan produk-produk hukum yang menjamin dan memproteksi orang asli Papua (OAP) ditanahnya sendiri. Otonomi Khusus tidak hadir dengan sendirinya tetapi melalui pergolakan panjang maka harus benar-benar dimanfaatkan demi OAP itu sendiri.

Majelis Rakyat Papua adalah salah satu bentuk representasi seluruh masyarakat Papua. Sebagaimana amanat UU 21 Otsus Papua Bagian Keempat Tentang Majelis Rakyat Papua pasal 20 huruf:
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan
f. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua

Tetapi faktanya MRP tidak dapat melakukan hak-hak sebagaimana mestinya, tidak terlihat kerjasama antara lembaga ini demi menjamin proteksi, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap orang asli Papua. MRP hanya pajangan selama 19 tahun Otonomi Khusus Papua berjalan.

Ditambah lagi adanya 14 kursi ini sepertinya hanya pajangan saja menyenangkan hati orang asli Papua untuk duduk dan merasakan kursi empuk legislative. Apalagi seperti sudah dijelaskan diatas terkait pengangkatan yang begitu singkat waktunya kemudian banyaknya kekosongan hukum yang membuat ketidakpastian dalam menjalan tugas dan fungsi MRP maupun 14 Kursi tersebut.

Harapanya adalah 14 kursi jalur orang asli Papua benar-benar membawa persoalan dari masing-masing wilayah untuk segera diselesaikan. Bukan hanya karena adanya kepentingan pribadi bahkan demi memperkaya diri sendiri lalu melupakan hal yang utama untuk diperjuangankan di parlemen. Selain dari itu poin yang ingin penulis sampaikan adalah peran dari eksekutif adalah paling krusial terkait dengan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Ketika rakyat Papua membutuhkan otsus sebagai jalan alternatif demikian pula eksekutif harus mampu menerjemahkan perintah dalam otsus tersebut.

Transparansi dan Akuntabilitas Panitia Seleksi
7 Panitia seleksi ini merupakan harapan masyarakat Papua. Transparansi dan akuntabilitas publik panitia seleksi memberikan jaminan bahwasannya mereka yang akan terpilih adalah yang terbaik dari yang baik. Walaupun sebenarnya hak penuh berada di tangan Gubernur tetapi pengerucutan hingga 20an calon setidaknya adalah sudah yang terbaik dan semuanya sesuai prosedur yang berlaku.

Pansel mempunyai tugas yang besar dengan kuota 14 dengan jumlah masing2 wilayah adat yang berbeda adalah tantangan apalagi calon peserta adalah 721 orang. Saya berharap benar-benar dilakukan seleksi secara menyeluruh track record calon harus ditelanjangi sehingga benar ketika hasil diserahkan untuk dilantik tidak menimbulkan gejolak publik terkait track record anggota jalur pengangkatan ini. Satu hal yang sangat diharapkan adalah mereka berani bersuara lantang di parlemen tanpa takut para politikus hasil partai, harus berani membuat satu produk undang-undang yang benar-benar melindungi, memproteksi dan memberdayakan OAP disegala bidang.

Harapanya adalah 14 kursi jalur orang asli Papua benar-benar membawa persoalan dari masing-masing wilayah untuk segera diselesaikan. Bukan hanya karena adanya kepentingan pribadi bahkan demi memperkaya diri sendiri lalu melupakan hal yang utama untuk diperjuangankan di parlemen. Selain dari itu poin yang ingin penulis sampaikan adalah peran dari eksekutif adalah paling krusial terkait dengan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Ketika rakyat Papua membutuhkan otsus sebagai jalan alternatif demikian pula eksekutif harus mampu menerjemahkan perintah dalam otsus tersebut.

Sumber :
Pekey, Frans. 2018. Otonomi Khusus Papua (Dinamika Formulasi Kebijakan Yang Semu). : Penerbit Buku Kompas
Enembe, Lukas. 2016. Papua Antara Uang dan Kewenangan, Jakarta Selatan: RMBOOKS
Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
https://www.papua.go.id/view-detail-berita-6835/tak-ada-lagi-pemilihan-14-kursi-otsus-dprp.html
https://www.bogopapua.com/721-oap-berjibaku-merebut-14-kursi-dpr-papua-lewat-jalur-adat/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia & Buah

Kebijakan Publik Dalam Ranah Politik

Membangun Papua Untuk Orang Papua