Negara Perlu Membiayai Partai Politik


Membangun sistem kepartaian di Indonesia yang betul-betul standar tidak masing-masing membangun dirinya ala internal sendiri saja. 


Jadi, karena yang dibangun adalah rumah demokrasi atau partai politik. Partai tidak boleh sibuk hanya menyiapkan strategi, taktik, manuver politik yang perlu dilakukan ketika menghadapi Pilkada.

Karena setelah didata ada sekitar 1300 lebih Pilkada selama rentang waktu 2000an, ada 4 kali pemilu nasional 1999 artinya, banyak sekali Pilkada dan Pemilu yang sudah digelar sehingga
konsentrasi partai politik di Indonesia lebih fokus pada bagaimana menyiapkan kemenangan termasuk menyiapkan di internalnya kalau terjadi suksesi.

Jadi yang terpikir adalah strategi, taktik, manuver dan lain sebagainya lalu lupa untuk menyampaikan secara transparan (public accountability) bahkan tidak serius dalam menjadikan partai politik sebagai partai yang menjalankan fungsi pengkaderan dengan menjamin kualitas orang-orang yang terbaik. 
 
Ironi yang tentunya kita saksikan ditengah praktik sistem multi partai yang sudah dibolehkan oleh negara sejak tahun 1999. Ketika kita bicara soal partai politik yang sekarang minimal orang-orang yang berada dalam partai adalah orang lama, orang yang berpolitik bertahun-tahun, punya karir poltik yang luar biasa. Tapi masalah kita masih sama yaitu kaderisasi, tidak akuntabel dan transparan, tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.


Apa yang salah dengan partai politik di tanah air?


Ada yang salah tentunya karena ternyata kita membangun partai politik tidak sesuai dengan inline dari proses demokrasi yang harus ditapaki oleh partai politik itu sendiri. Sebagai jantung dari demokrasi, partai politik memegang peran penting. Partai politk seolah-olah dia bukan pilar pentingnya demokrasi contoh ketika harus mengikuti pilkada atau pemilu seolah-olah hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan saja.

Anekdot partai politik tidak menjadi pilar demokrasi tapi menjadi masalah penting demokrasi, dan lebih celakannya lagi tidak menempatkan diri sebagai asset negara, sebagai asset negara memang apa yang dirasakan partai politik kurang dalam penerimaan dana dari negara yang perlu kita pikirkan agar partai politik sungguh-sungguh menjadi asset negara dan pilar demokrasi.

Dengan diberikan dana yang cukup oleh negara dan ketika diberikan dana yang cukup maka ada kewajiban yang harus diikuti dipenuhi dengan audit secara professional. 

Entah itu BPK atau KPK atau autidor independen. 


Jadi bagian dari transparansi atau public accountability melekat pada diri yang namanya institusi demokrasi partai politik. 

Kalau sampai sejauh itu maka siapaun yang menjadi kader akan nyaman karena apa, dia memiliki payung hukum yang pasti karena tidak modal dana dalam arena politisi, nepotisme, karena yang diperlukan oleh partai adalah sosok kader calon pemimpin. Karena tidak ada partai yang ingin dirinya menang kalau institusinya tidak ingin kalah tentu akan memperbanyak kader yang handal yang akan diterjunakna ketika ada pemilu nasional. 

Dengan demikian, partisipasi dalam demokrasi itu akan terpenuhi. Jadi bukan kontestasi basa-basi yang judulnya aklamasi, lalu juga kompetisi yang diikuti melalui Pilkada, sehingga tidak perlu memunculkan calon tunggal. Karena apa, calon tunggal itu kan aklamasi sebetulnya, apalagi munas, konggres, di internal partai yang akan mengarahkan pada suksesi kepemimpinan juga tidak perlu aklamasi hanya satu calon saja seolah-olah kader tidak ada lagi. 

Jadi diajarkan bagaimana konstestasi yang sehat, yang beradab, terjadi sejak awal di internal partai. Ujungnya dana maka menjadi pekerjaan negara memberikan dana kepada partai yang nanti bisa dipertanggung jawabkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia & Buah

Membongkar Isi UU 21 Otonomi Khusus Papua (Affirmative Action 14 Kursi Orang Asli Papua di Parlemen)

Membangun Papua Untuk Orang Papua