UN Yang Tidak Layak
Kita perlu mengingatkan dan
mendorong para pemangku kepentingan, pihak terkait agar pemerataan pendidikan,
pemerataan kualitas guru disetiap daerah, penyebaran guru, yang mana hal ini
perlu di selesaikan terlebih dahulu.
Peningkatan dan pemerataan
pendidikan adalah yang paling utama.
Kita pasti tahu, bahkan mungkin pernah
menemui ada anak kelas 3-5 SD yang belum bisa membaca bahkan belum bisa
menulis. Jadi bayangkan saja kalau
model seperti begini harus mengikuti ujian
nasional dan akhirnya terjadi banyak sekali kecurangan-kecurangan yang selama
ini pasti kalian juga lihat, alami bahkan ada juga yang mengikuti proses ujian
dalam kecurangan agar bisa lulus atau kalian adalah orang yang cuek dalam hal
ini. Pembenahan sangatlah penting untuk kualitas pendidikan, kualitas guru,
agar jangan kita hanya dibuat terkatung-katung bila setiap para pemangku
kepentingan itu bicara soal wacana ujian nasional mau ini, itu dan lain
sebagainya.
Saya sendiri merasakan hal
tersebut bahwa begitu berbedanya kualitas pendidikan antara kota dan daerah
pedalaman terkhusus saya yang berada di Papua. Secara pribadi begitu sedih
rasanya melihat kesenjangan yang terjadi.
Kebanyakan dari kita akan
mengganggap UN sebagai salah satu ritual yang sangat sakral karena sebagai
salah satu penentuan kelulusan. Pelaksanaan doa bersama sambil nangis, ada yang
stress, ada yang sampai kesurupan ya.
UN harus dihadapi dan
dipersiapkan.
Setiap ada wacana pemberhentian
ujian nasional pasti akan menjadi perbicangan disetiap daerah, disiarkan di tv
bertajuk dialog dengan topik moratorium ujian nasional, dialog interaktif di
RRI disetiap daerah, ada yang menyambut baik, ada yang mengatakan tidak setuju
kalau ujian nasional dihentikan, ada yang bilang kalau sekolahnya sudah siap
ujian nasional, ada ada ajaaaaa.. tetapi memang setiap kali berbicara soal
ujian nasional pasti semua berbicara bahkan siswa pun berbicara akan hal ini
karena mereka merasa menjadi korban pembelajaran selama bertahun-tahun hanya
untuk lulus dalam 1 minggu.
Perdebatan pun terjadi semakin
membingungkan sekolah, siswa dan para orangtua. Perdebatan ringan hingga
perdebatan argumentasi yang mendasar mewarnai kebijakan apapun yang akan
dikeluarkan entah ujian nasional batal atau ujian nasional diberhentikan atau
ujian nasional jadi penentu kelulusan. Itu sudah dari dahulu menjadi momok.
Saya sendiri bingung banyak akademisi berbicara ini dan itu lalu sampai kapan
hanya berbicara saja? Kenapa tidak direalisasikan? Apakah ada yang salah? Atau
hanya bicara saja ya
Hampir lebih dari belasan tahun
ujian nasional diadakan dan selama itu juga selalu terjadi perdebatan karena
dalam setiap proses ujian nasional pasti saja terjadi kebocoran soal bahkan
kebocoran soal itu pun dilakukan oleh pihak sekolah agar setiap siswanya dapat
diluluskan. Sekolah seakan melegalkan hal tersebut bahkan setiap tahun pasti
praktek yang sama terus dilakukan, siswa pun senang. Itu yang terjadi saya
menulis demikian karena saya mengalami hal tersebut.
Yang jadi pertanyaan
apakah akan terus mengalami hal demikian karena yang terjadi dalam 1 minggu
adalah pembentukan diakhir ujian sebelum akan berpisah dari sekolah dan harus
mendapatkan pendidikan moral bahwa dengan adanya menyontek, berbagi jawaban
adalah moral yang sangat baik.
Dari dulunya selalu ada opsi
terkait dengan ujian nasioanal.
1. Menghapus UN dari sistem
pendidikan
2. Penghentian sementara UN atau
Moratorium UN
3. UN tetap dijalankan tetapi
pelaksanaannya diserahkan ke setiap daerah.
Siapa yang harus memilih?
Opsi yang diatas adalah opsi lama
yang terus digaungkan para pemerhati pendidikan ditanah air tetapi yang perlu
sekali saya ingin sampaikan adalah jangan jadikan ujian nasional sebagai
penentu kelulusan seharusnya kelulusan siswa ditentukan oleh pihak sekolah
walaupun sebenarnya hal ini sudah mulai dilakukan.
Selama ini sejak dilaksanakan 12
tahun lalu UN memang menjadi beban tersendiri bagi siswa, orangtua termasuk
para pendidik sendiri, UN diharapkan menjadi tolak ukur dan alat pemetaan kualitas
pendidikan nasional lebih cenderung menjadi momok bagi para siswa dan orangtua
apalagi menjadi penentu kelulusan siswa yang terjadi bukan berkonsentrasi untuk
meningkatkan pendidikan secara umum tetapi hanya berkonsentrasi pada mata
pelajaran yang diujiankan dalam UN.
Mencari cara bagaimana dapat
lulus dalam UN dengan nilai baik, karena kondisi inilah UN terus diperdebatkan
dan dipersalahkan karena tidak mencerminkan performa siswa setelah
bertahun-tahun mengikuti pendidikan disekolah. UN juga dianggap hanya menguji
ranah beberapa mata pelajaran saja akibatnya cenderung mengesampingkan hakikat
pendidikan untuk membangun karakter, perilaku dan kompetensi.
Meskipun terlambat kebijakan
menghapus atau memoratorium UN patut kita apresiasi karena desakan penghapusan
UN sebetulnya sudah lama diseruhkan berbagai kalangan pendidikan, federasi
serikat guru Indonesia, LBH dan lainnya.
Ujian nasional dinilai cacat
secara hukum maupun dalam praktek sehingga harus dihentikan namun demikian
pemerintah juga harus memikirkan dampaknya ketika harus memutuskan untuk
moratorium atau menghapus artinya ketika pelakasanaan di serahkan pada pemrov
atau pemkot dan pemkab harus diperhitungkan pula kesiapannya jangan sampai
timbul kendala dilapangan karena kurangnya kesiapan dari pemerintah daerah
setempat.
Jangan lagi siswa menjadi korban,
bingung karena perubahan kebijakan tersebut.
Fungsi dari ujian nasional adalah
untuk melakukan pemataan atau pemotretan tentang kapasitas dari pendidikan
bidang akademis di setiap daerah. Didalam pemetaan itu bukan ujian tetapi ya
pemetaan jadi harusnya namanya itu bukan ujian tapi evaluasi pembelajaran dari pendidikan
di Indonesia . Nah evaluasi itu haruslah melakukan ujian dengan standar yang
mutlak di seluruh daerah artinya kriteria yang dipakai itu sama untuk seluruh
Indonesia sebab sifatnya pemetaan seperti gitu. Kalau yang terjadi sekarang
ujian nasional itu berakibat pada lulus tidak lulusnya seseorang dan hal ini
sangatlah keliru sebab kita hanya mau melakukan pemetaan kita tidak melakukan
sebuah ujian yang berakibat lulus tidak lulus.
Bersanding dengan evaluasi pembelajar
dengan menggunakan standar mutlak itu maka harus dilakukan ujian sekolah yang
memakai standar norma atau artinya adalah sesuatu evaluasi pembelajaran yang
sangat terikat dengan kondisi sekolah tersebut dengan mutu guru, fasilitas yang
ada.
Jadi untuk lulus tidak lulus tidak memakai ujian nasional tetapi memakai
ujian sekolah sedang ujian nasional itu diubah namanya bahkan maksudnya menjadi
evaluasi pemetaan prestasi akademis dari siswa secara nasional. Jika hal ini
sudah dipegang secara teoritis maka kebijakan pun akan baik.
Itu yang terjadi saat ini dan
sudah diperjuangkan oleh pak Emil Salim dan kawan-kawannya.
Apa yang terus disuarakan tentang
hal ini adalah sangat baik bukan sangat baik tetapi sangatlah benar. Sebab
kalau dilakukan ujian nasional memakai standar mutlak lalu menjadi penetu
kelulusan seorang siswa adalah kesalahan. Jadi selama ini terjadi kesalahan.
Selain mempertimbangkan kesiapan
daerah. Kita perlu adanya pengganti ujian nasional yang lebih baik lagi agar
tidak meninggalkan kualitas dari setiap siswa.
Komentar
Posting Komentar