Membangun Papua Untuk Orang Papua
![]() |
Sumber Foto : https://papuamaju.files.wordpress.com/2013/05/cropped-bg.jpg |
Di Papua ada PT Freeport Indonesia yang sudah 50 tahun beroperasi dan di Papua Barat ada BIPI Tangguh, yang sudah 8 tahun beroperasi. Apabila kita melihat kehidupan masyarakat di Papua dan kegiatan ekonomi pasti sangatlah miris. Itulah sebabnya menteri keuangan ibu Sri Mulyani mengatakan, “semakin ke timur tingkat kemiskinannya semakin luar biasa.”
Di Papua tingkat kemiskinan
mencapai
22 persen padahal kekayaan alamnya luar biasa.
Kalau kita melihat data yang
dikeluarkan oleh BPS tentang provinsi dengan angka kemiskinan relative tinggi
per bulan maret tahun 2016 lalu bahwa
provinsi dengan jumlah orang miskin, presentase per jumlah penduduk diduduki
oleh provinsi Papua dengan orang miskin 28,5%, Papua Barat 25,4%, NTT 22.2%,
Maluku 19,2%, Gorontalo 17,7%
Melihat biaya hidup dari kota per
kota per september tahun lalu biaya
hidup tertinggi dari kota-kota menurut BPS pertama adalah DKI Jakarta dengan
biaya 7,5 juta perbulan, Jayapura 6,9 juta perbulan. Disusul dengan kota lainnya.
Distribusi PDRB Papua oleh BPS
menurut lapangan usaha tahun 2016 paling besar ekonomi di Papua disumbangkan
oleh pertambangan dan penggalian 35,5%, konstruksi 12,93%, pertanian 12,11%,
transportasi dan pergudangan 5,11%. Penerimaan Dana Otonomi Khusus Papua dari
tahun 2015-2017 adalah 4,9 T naik 5,4 T, naik 5,6 T sementara untuk
Papua Barat 2,1 T naik 2,3 T naik 2,4 T.
Pertanyaan adalah apakah naiknya
dana OTSUS membuat sejaterah masyarakat di Papua?
Kalau Papua hanya diambil SDA nya
untuk berkontribusi bagi negara bukan untuk Papua lalu bagaimana nasib orang
Papua?
Kalau kita melihat sekarang, Papua
dan Papua Barat ketergantungan terhadap PT Freeport dan BIPI sangat tinggi,
tidak disadari bahwa diperlukan kegiatan ekonomi lainnya supaya tidak tergantung
kepada dua kegiatan tersebut. Bila kita melihat filosofih pengembangan SDA
adalah bagaimana kita men- treat SDA sebagai berkah bukan sebagai kutukan. Kita
juga tidak bisa membatasi satu wilayah yang mempunyai kekuatan SDA, tinggal
bagaimana memanfaatkan dan mendistribusikan kembali perekonomian yang ada. Jadi,
multiplayer effect pada industry itu yang perlu sekali dilihat kita justru
melihat ada ketimpangan bagaimana ada sektor pertambangan diluar dari pada
Freeport yang sejatinya bisa berdiri sendiri.
Membuat klaster ekonomi merupakan
tugas dari pemerintah sehingga sustainability pada SDA.
Praktis pembangunan di Kabupaten
Mimika berasal dari Freeport, pembangunan di kawasan Bintuni sebagian dari
BIPI. Sebetulnya arah pembangunan di Papua itu mengandalakan SDA sebagai berkah
atau kutukan.
Papua merupakan daerah kaya dan
sebagai daerah kaya pastinya menjadi rebutan. Kebetulan yang hadir pertama
adalah Freeport jadi seolah-olah dari Freeport. Padahal dari ujung kepala
burung hingga perbatasan PNG semua kaya sekali. Kita hanya bicara soal tambang
padahal ada potensi perikanan yang sangat luar biasa sekali. Cuma memang kalau
persoalan baik Freeport dan BIPI sebetulnya yang harus diperhatikan adalah apa
yang sudah kita dapat karena keuntungan tidak sebanding dengan kerusakan alam
kaitkan Freeport.
Kalau bicara Papua bicara juga soal hak-hak adat, apabila
investasi itu dimulai adakah deal dengan orang asli Papua.
Kita membangun Papua hanya
membangun fisiknya tetapi tidak membangun orangnya ini persoalan yang terjadi
hari ini. Masterplan semua bicara fisik entah infrastuktur tetapi tidak bicara
manusia Papua.
Kita membangun apa di Papua?
Membangun diri kita sendiri?
Atau membangun orang Papua?
Persoalan hari ini bukan persoalan
hari ini tetapi persoalan yang sudah muncul sangat lama karena hal yang diawal tidak
dilakukan untuk membangun orang Papua. Makanya dari itu tingkat pendidikan,
kesejaterhan rendah ya karena memang tidak membangun orang Papua.
Sudah ada yang dilakukan tetapi
belum maksimal.
Kenapa itu terjadi?
Negara tidak cukup hadir?
Kita lihat dana OTSUS sekitar 5,6 T
seharusnya cukup. Sekarang apakah terbelanja dengan baik atau tidak oleh
Pemerintah Provinsi Papua?
Kalau orang-orangnya tidak
dipersiapkan, sehebat apapun infrastruktur yang dibangun ya tetap tidak
maksimal karena tidak men-generate ekonomi di Papua.
Laju pertumbuhan ekonomi di Papua
dari tahun 2011-2016 berkisar antara 6-7% relative stagnan tanpa pertambangan
dan penggalian sementara dengan pertambangan dan penggalian sangat mendominasi
dengan 7-9%.
Kita lihat penyerapan tenaga kerja,
ternyata sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di Provinsi
Papua kebanyakan terserap pada sektor yang ekonomi primitive SDA (pertanian,
perkebunan, perburuan dan perikanan) lebih dari 1 juta tenaga kerja yang
diserap.
Kita lihat pula serapan tenaga
kerja sektor pertambangan PT Freeport Indonesia. Jumlah pekerja langsung 12.085
pekerja dengan komposisi 7.612 (62,98%) non papua, 4.321(35,76) asli papua, 152
(1,26%) asing. Data per 31 des 2015. Yang mana seharusnya orang Papua menjadi
tuan dinegerinya sendiri.
Lihat juga IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) Papua dari tahun 2013-2015 sekitar 57% dan Papua Barat 61,73%
sementara rata-rata IPM Nasional 2015 adalah 69,5 % jadi ya relative dibawah
dari seharusnya.
Harus dicarikan betul bagaimana
membangun manusia papua.
Kalau kita mengacu pada UU OTSUS
sebetulnya desain sudah sangat bagus, permasalahannya adalah antara desain dan implementasinya
yang menjadi masalah besar. OTSUS dikontekskan ke Papua yang mana Papua
membutuhkan hal-hal yang spesifik nah desain inilah yang mungkin tidak
dipersiapkan dengan baik. Termasuk juga segala bentuk program tidak
dikomunikasikan dengan masyarakat lokal yang mempunyai tanah adat, artinya orang
Papua tidak anti pendatang, anti investor tetapi ketika orang datang tidak
sesuai dengan yang seharusnya maka orang Papua berpikir bahwa sama dengan
merampas hak orang asli Papua.
Membangun Papua harus berbasis
kepada HAM, artinya adalah bicara kesejaterahan ekonomi, kesempatan yang sama.
Sederhana saja berdasarkan riset
dari LIPI bahwa Papua disebut sebagai daerah pangan pokok. Jadi ada yang makan
sagu, petatas dan lainnya. Hal ini yang bisa mempersatukan orang Papua. Usaha
melakukan pembangunan secara modern yang tidak sesuai dengan kultur di Papua, rasanya
kita tidak sungguh-sunggu membangun manusia Papua.
Orang Papua punya kultur yang
berbeda tetapi kebanyakan hanya memandang kultur secara fisik tetapi tidak
memandang dari segi philosophy contohnya saja soal pasar, bayangan kita pasar
adalah sesuatu yang modern dan lain sebagainya untuk orang Papua tidak butuh
yang terlalu modern yang penting mereka punya tempat yang nyaman tidak harus
berjualan ditrotoar. Karena philosophy jual beli adalah dipasar. Karena sampai
hari ini pasar menjadi bancaan di Papua.
Kapan Papua ini dibangun untuk
orang Papua bukan untuk orang yang datang mencari keuntungan di Papua?
Kalau kita melihat dana APBN tahun
2017 Otsus 5,6 T dan Dana Infrastruktur 2,4 T bayangkan saja.. tujuan adalah
supaya keterisolasian daerah satu dengan daerah yang lainnya teratasi. Sehingga
tidak heran kalau keputusan pemerintah untuk mengambil kebijakan BBM satu harga
karena tingkat isolasi yang membuat harga setinggi langit. Dari dana OTSUS 70%
untuk pendidikan dan kesehatan. Musti digarap betul sehingga kena pada sasaran.
Di Papua tidak perlu membangun yang mereka tidak butuhkan. Kalau membangun
sesuatu yang menonjolkan fisik tapi tidak butuhkan masyarakat sama saja cari
pohon anggur di padang gurun.
Makanya dengan tersedianya dana,
harusnya pengalokasiannya tetap dan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Roma tidak dibangun dalam semalam,
Papua pun demikian. Tetapi sebagai orang Papua sangat mengharapkan pemerintah
daerah harus lebih fokus membangun Papua dan ini juga terkait penegakan hukum
terhadap penyalahgunaan anggaran pembangunan harus diperhatikan betul. Kemudian
ekonomi rumah tangga dan menengah harus diberikan ruang, mendorong pengusaha asli
papua, untuk perusahaan besar harus berbasis kepada membangun industry untuk
manfaat juga bagi daerah.
Hari ini orang yang paling
dipercaya oleh masyarakat Papua adalah
Joko Widodo. Sehingga bagaimana kebijakan yang tepat untuk membangun bukan
hanya infastruktur tetapi orang-orangnya juga dibangun dari ketertinggalan dan
keterisolasian.
Menciptakan pemerintahan yang
terbuka dan transparansi menjadi kekuatan utama dan luar biasa. Karena tidak
jarang sebuah provinsi yang dimanja lalu tidak terbuka akan menciptkan suasana
yang membuat ketidaksaling percaya antara pemerintah daerah atau antara
masyarakatnya. Dengan pemerintahan yang terbuka maka distribusi uang yang
begitu besar bisa menjadi manfaat.
Pemerintah harus mencari formula
baru bagi peningkatan perekonomian di tanah Papua. SDA yang melimpah rupanya
belum memberikan manfaat kesejaterahan bagi rakyat Papua.
Tingginya angka kemiskinan di Papua
menonfirmasi gagalnya pembangunan di bumi cenderawasih ini padahal Triliunan
APBN telah dikucurkan dan terus meningkat setiap tahunnya khusus untuk Papua.
tingginya ketergantungan terhadap operator bisnis dalam pembangunan di Papua
dan pengentasan kemiskinan di Papua masih menjadi pekerjaan rumah yang masih
serius untuk dihadapi. Pemerintah seharusnya serius melihat masa depan Papua
dengan menciptakan desain pembangunan yang berkelanjutan di Papua.
Komentar
Posting Komentar